SERANG, – Keputusan SMA Negeri 6 Kota Serang untuk memberhentikan sejumlah siswa, termasuk siswa kelas XII berinisial AA, menuai sorotan dari sejumlah pihak. Keputusan tersebut dianggap terlalu keras, terutama karena siswa yang diberhentikan berada di jenjang akhir pendidikan menengah atas.
Orang tua AA, yang diidentifikasi dengan inisial Y, menyampaikan kekecewaannya atas keputusan sekolah. Menurutnya, anaknya sempat menjadi korban kekerasan fisik dari guru namun tetap diminta memaafkan. Namun ketika anaknya melakukan kesalahan, pihak sekolah justru mengambil langkah tegas berupa pemberhentian.
“Anak saya pernah ditempeleng guru di sekolah dan kami sudah maafkan. Tapi saat anak saya bersalah, tidak ada ruang untuk dimaafkan. Malah dikeluarkan,” kata Y, Jumat (20/6/2025).
Ia juga menyayangkan sikap sekolah yang dinilai terlalu mudah memberikan sanksi pemberhentian. Padahal menurutnya, pendidikan karakter seharusnya menjadi bagian tanggung jawab pihak sekolah.
Kritik juga datang dari kalangan mahasiswa. Ketua BEM Universitas Pimagraha, Ade Firmansyah, menyoroti nasib siswa lain berinisial MV, yang juga dikeluarkan dari sekolah dan kini kesulitan melanjutkan pendidikan karena keterbatasan biaya.
“Namanya anak-anak, kadang ada gesekan dalam pergaulan. Tapi yang dibutuhkan justru peran orang dewasa untuk membimbing, bukan memperkeruh situasi,” ujar Ade.
MV sebelumnya tercatat sebagai siswa kelas X di SMA Negeri 6 Kota Serang. Namun ia dikeluarkan karena diduga terlibat dalam beberapa kasus perkelahian dengan siswa lain. Orang tuanya mengaku tidak memiliki cukup dana untuk membiayai MV masuk ke sekolah lain, yaitu SMA Negeri 7 Kota Serang, yang mensyaratkan pembayaran sebesar Rp3 juta.
“Dia hanya ingin sekolah, tapi sekarang tak bisa melanjutkan karena terkendala biaya,” ungkap R, ayah MV, sambil menahan tangis.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA) Provinsi Banten, Hendry Gunawan, meminta agar pihak sekolah mengedepankan pendekatan yang lebih manusiawi. Ia menegaskan bahwa keputusan untuk mengeluarkan siswa dari sekolah seharusnya dilakukan berdasarkan kajian dari konselor anak.
“Jika tidak ada kajian psikologis, maka sekolah tidak memiliki dasar yang kuat untuk memberhentikan siswa,” kata Hendry.
Ia memastikan akan mendalami kasus ini dan mengkonfirmasi ke pihak sekolah apakah prosedur tersebut telah dilalui.
Sementara itu, Ferry Ganda, selaku Humas SMA Negeri 6 Kota Serang, menegaskan bahwa keputusan pemberhentian siswa telah sesuai dengan regulasi internal sekolah.
“Itu adalah bagian dari aturan sekolah yang kami jalankan secara konsisten,” jelas Ferry.
Kasus ini menyulut perdebatan lebih luas mengenai perlakuan sekolah terhadap siswa yang melakukan pelanggaran, terutama dalam konteks pendidikan karakter dan hak anak untuk tetap memperoleh akses pendidikan yang layak.