Tantangan Pelestarian Kawasan Banten Lama di Masa Depan

oleh
oleh

SERANG- Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VIII menggelar diskusi publik dengan tema Kawasan Banten Lama dan Tantangan Masa Depan yang diselenggarakan di Ruang Audiovisual Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama, Kamis (19/9/2024).

Sebanyak 50 lebih peserta hadir, terdiri dari pemerintah daerah, arkeolog, akademisi, komunitas budaya, karangtaruna, kelompok sadar wisata (Pokdarwis) dan lainnya.

Acara berlangsung dengan menghadirkan pemateri kompeten di bidangnya yaitu, Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia, Wiwin Djuwita S. Ramelan dan Kepala Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Herry Yogaswara.

Kegiatan ini sebagai sarana untuk urun rembug berbagi ide serta pandangan dari masyarakat dan instansi terkait, tentang pengembangan dan pemanfaatan Kawasan Banten Lama dalam rangka pemajuan kebudayaan.

Wiwin Djuwita mengatakan, sebagai kesultanan yang dibangun abad 16 oleh Maulana Hasanuddin (Putra Sunan Gunung Jati), Kesultanan Banten pernah mencapai puncak kejayaannya pada abad 17 di bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.

Baca Juga:  Mengidap Disleksia, Deddy Combuzier Kesulitan Belajar Al-Qur'an

Meski pernah berjaya pada masanya, dari sisi pelindungan hukum, Kawasan Banten Lama masih memiliki segenap persoalan yang perlu diselesaikan.

Tantangan Kawasan Banten Lama yaitu belum ditetapkan sebagai cagar budaya, termasuk status peringkat cagar budaya.

“Kawasan Banten Lama juga belum ada delineasi berdasarkan SK Penetapan cagar budaya dan kepemilikan tanah sesuai delineasi,” terangnya.

Adapun kondisi eksisting Kawasan Banten Lama sudah ada penetapan zonasi kawasan Kesultanan Cagar Budaya Banten (Banten Lama) berdasarkan SK Gubernur Banten No. 437/Kep.160 – Huk/2018, sudah dilakukan penataan lingkungan, sekaligus sudah dimanfaatkan untuk geliat pariwisata dan budaya.

“Meski sudah ada keputusan Gubernur tentang penetapan zonasi, namun belum dilengkapi SK penetapan, belum dilengkapi dengan ketentuan apa yang bisa dan tidak dalam hal fungsi ruang dan kedalaman tanah untuk membangun prasarana dan sarana,” jelasnya.

Baca Juga:  Pemprov Banten Akan Hati-hati Cari Solusi Selesaikan Masalah Tenaga Honorer

Sebagai jalan keluar atas persoalan tersebut, Wiwin memberikan masukan untuk melakukan rencana pengembangan meliputi revitalisasi, adaptasi dan pemugaran.

Sekaligus menyusun rencana induk pelestarian kawasan Cagar Budaya Kesultanan Banten secara lengkap berdasarkan Undang-Undang Cagar Budaya.

“Lakukan juga kolaborasi antara BPK Wilayah VIII dengan Pemerintah Daerah,” pesannya.

Kepala Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra BRIN, Herry Yogaswara menambahkan, sedikitnya ada 7 dimensi pemberdayaan Heritage Banten Lama yang bisa dilakukan melalui warisan budaya, ekspresi budaya, ekonomi budaya, budaya literasi, pendidikan, ketahanan sosial dan budaya, serta gender.

Ia juga memberikan masukan untuk pengelolaan Banten Lama, yakni perlu didesain sebagai kombinasi antara produk dan proses yang membantu menyediakan sumber daya budaya yang diwariskan dari masa lalu untuk memberi kesejahteraan masyarakat di masa kini secara partisipatif, untuk memberi ruang keberlanjutan demi menjamin kepentingan generasi mendatang.

Baca Juga:  Bapenda Banten Imbau Masyarakat Taat Pajak, Ini Manfaatnya

“Pengelolaan Banten Lama harus dapat memanfaatkan narasi sejarah kejayaannya, menceritakan tentang budaya, politik, masyarakat, dan kepercayaan masyarakat Banten Lama masa lalu dan kondisi masa kini,” paparnya.

Pengelolaan warisan budaya Banten Lama yang komprehensif sangat penting untuk memberikan kontribusi langsung terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan yang lebih besar.

“Pemerintah dan lembaga non-pemerintah perlu secara bersama-sama mengadvokasi sebagai isu lintas sektoral, untuk mencapai agenda pembangunan berkelanjutan dalam tiga dimensi keberlanjutan (sosial, ekonomi, lingkungan),” ujarnya.

Turut menambahkan, Kepala BPK Wilayah VIII, Lita Rahmiati mengatakan, pengelolaan Banten Lama memerlukan kerja bersama multipihak, mulai dari pelindungan hingga pemanfaatannya.

“Diharapkan kegiatan ini menjadi awal baik untuk membangun kolaborasi berbasis kebudayaan antar masyarakat, komunitas, pemerintah dan akademisi,” harapnya.